Halaman

Rabu, 03 Oktober 2012

Kaidah Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil

[1]. Sumber aqidah adalah kitab Allah (Al Qur’an), sunnah Rasulullah yang shahih dan ijma’ para salaf yang shaleh.


[2]. Setiap sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah wajib diterima, sekalipun mutawatir atau ahad (hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya bukan dalam jumlah yang tak terhitung).

[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami Kitab dan Sunnah adalah nash-nash (teks Al Qur’an atau hadits) yang menjelaskannya, pemahaman para salaf yang shaleh dan para imam yang mengikuti mereka serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang hanya berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

[4]. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin) semua telah dijelaskan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Siapapun tidak berhak mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut termasuk bagian dari agama.

[5]. Berserah diri dan patuh hanya kepada Allah dan RasulNya lahir dan batin. Tidak menolak sesuatu dari Kitab atau Sunnah yang shahih, baik dengan analogi, perasaan, kasyf (illuminasi, atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syeikh ataupun iman-imam, dan lain-lainnya.

[6]. Dalil aqli yang benar akan sesuai dengan dalil naqli (nash) yang shahih. Sesuatu yang qath”i (pasti) dari kedua dalil itu tidak akan bertentangan. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara kedua dalil itu, maka wajib dalil naqli harus didahulukan.

[7]. Wajib untuk senantiasa menggunakan bahasa agama dalam aqidah dan menjauhi bahasa bid’ah (yang bertentangan dengan sunnah). Bahasa umum yang mengandung pengertian yang salah dan yang benar perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai pengertian yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah pengertian yang benar maka perlu disebutkan dengan menggunakan bahasa agama (syar’i). Tetapi bila yang dimaksud adalah pengertian yang salah maka harus ditolak.

[8]. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari kesalahan), dan umat Islam secara keseluruhan dijauhkan dari Allah dari kesepakatan atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari kita yang ma’shum. Jika ada perbedaan pendapat di antara para imam atau yang selain mereka maka perkara tersebut dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa dia adalah orang berijtihad.

[9]. Ada di antara umat kita yang memperoleh bisikan dan ilham dari Allah, ru’ya (mimpi) yang baik. Ini benar dan termasuk salah satu bagian dari kenabian. Firasat yang baik adalah benar, dan itu semua adalah karamah (suatu kelebihan dan keluarbiasaan yang dikaruniakan Allah kepada seorang wali)  serta tanda baik dari Allah asal dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menjadi sumber aqidah maupun hukum.

[10]. Berdebat untuk menimbulkan keraguan dalam agama adalah perbuatan tercela. Tetapi berdebat dengan cara yang baik untuk mencari kebenaran disyariatkan. Perkara yang dilarang oleh nash untuk mendalaminya wajib diterima dan wajib menahan diri untuk mendalami sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh seorang muslim. Seorang muslim harus menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.

[11]. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyampaikan sanggahan, dalam aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Karena itu bid’ah tidak boleh dibalas dengan bid’ah lagi, kekurangan dilawan dengan berlebih-lebihan, atau sebaliknya.

[12]. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya dalam agama adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan dalam neraka.

[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/679/slash/0

3 komentar:

  1. mana dalilnya???????????????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kaidah itu digariskan para 'ulama ibarat rel kereta api, hendaknya ia berjalan kemanapun arah rel itu, ketika ia menyalahinya pertanda ia sedang celaka. Tentu saja dalil/sumbernya adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan Istiqra‘-nya para 'ulama (yakni: kesimpulan yang bersumber dari penelitian mereka, dalam melihat -minimal sebagian besar- nash nash syar’i.
      Kalau antum ingin belajar betul, silahkan merujuk ke kitab yang dirujuk tulisan di atas. Barakallahu fiik..

      Hapus
  2. itu ibarat syarat syahnya sholat dan syarat syahnya wudhu

    BalasHapus